Tafsir Al quran

Jumat, 23 Januari 2015

SEPENGGAL KISAH WAFATNYA ROSULULLAH shallallahu'alaihiwassalam

 Ustadz : Abdullah Zaen Lc. MA

KHUTBAH PERTAMA:

إِنَّ الْحَمْدَ للهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.

“يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ”.

“يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيراً وَنِسَاء وَاتَّقُواْ اللّهَ الَّذِي تَسَاءلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيباً”.

“يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيداً . يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَن يُطِعْ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزاً عَظِيماً”.

أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ، وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ.


Jama’ah Jum’at rahimakumullah…
Mari kita tingkatkan ketaqwaan kepada Allah ta’ala dengan ketaqwaan yang sebenar-benarnya; yaitu mengamalkan apa yang diperintahkan oleh-Nya dan Rasul-Nya shallallahu’alaihiwasallam serta menjauhi apa yang dilarang oleh-Nya dan Rasul-Nya shallallahu’alaihiwasallam.
Jama’ah Jum’at yang semoga dimuliakan Allah…
Banyak kejadian sejarah yang meninggalkan pesan, kesan dan pelajaran berharga untuk kita. Apalagi seandainya obyek sejarah tersebut adalah orang-orang besar. Terlebih lagi jika sejarah itu berbicara tentang manusia teragung sepanjang masa; Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam. Namun demikian, realita yang ada amatlah memprihatinkan. Sejarah Nabi shallallahu’alaihi wasallam dibaca hanya di ritual-ritual tertentu yang amat jarang, yang dalam setahun bisa dihitung dengan jari.
Ini baru intensitas pembacaannya yang dikritisi. Belum jika kita cermati sejauh mana pesan sejarah tersebut digali, dipahami lalu diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari? Ironis memang, di tengah gempuran dahsyat budaya dan peradaban barat, masih banyak kalangan yang kerap berkomat-kamit membaca sejarah nabinya hanya bagaikan mantra-mantra yang tidak dipahami maknanya. Hanya kepada Allah sajalah kita mengadu…
Hadirin dan hadirat rahimakumullah…
Di antara penggalan sejarah yang bertaburkan banyak hikmah mulia dan pesan istimewa; kejadian meninggalnya Nabi kita Muhammad shallallahu’alaihiwasallam.
Peristiwa wafatnya Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam merupakan musibah terbesar umat ini dan menorehkan duka yang begitu mendalam di hati mereka. Namun detik-detik peristiwa wafatnya Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam dan berbagai kejadian di hari-hari terakhir beliau di dunia yang fana ini, memberikan begitu banyak pelajaran berharga untuk kita.[1]
Saat beliau menderita sakit parah menjelang wafatnya, para sahabat datang silih berganti untuk membesuk. Di antara mereka, adalah Abu Sa’id al-Khudry radhiyallahu’anhu. Dia bercerita,

“دَخَلْتُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يُوعَكُ، فَوَضَعْتُ يَدِي عَلَيْهِ، فَوَجَدْتُ حَرَّهُ بَيْنَ يَدَيَّ فَوْقَ اللِّحَافِ”.

 

“Aku mengunjungi Nabi shallallahu’alaihiwasallam, saat beliau dalam keadaan sakit parah. Aku pun meletakkan tanganku di atasnya. Hingga aku bisa merasakan panasnya tubuh beliau, padahal saat itu aku meletakkan tanganku di atas selimut yang dipakainya”. HR. Ibnu Majah (IV/111 no. 4096 no. 4096) dan sanadnya dinilai sahih oleh al-Bushiry.
Dalam kondisi separah itu, Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam masih tetap pergi ke masjid untuk mengimami para sahabatnya. Ummul Fadhl radhiyallahu’anha bercerita,

“خَرَجَ إِلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ عَاصِبٌ رَأْسَهُ فِي مَرَضِهِ، فَصَلَّى الْمَغْرِبَ فَقَرَأَ بِالْمُرْسَلَاتِ. قَالَتْ: فَمَا صَلَّاهَا بَعْدُ حَتَّى لَقِيَ اللَّهَ”.

 

“Saat sakit, Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam keluar (dari rumahnya) menuju ke kami (yang saat itu sedang menunggu di masjid). Beliau mengikatkan kain di kepalanya (untuk mengurangi rasa pening). Lalu beliau mengimami kami shalat Maghrib, dan membaca surat al-Mursalat. Itulah shalat Maghrib terakhir beliau sebelum bertemu dengan Allah”. HR. Tirmidzy (hal. 86 no. 308) dan dinyatakan hasan sahih oleh beliau.
Perlu dicatat di sini bahwa surat al-Mursalat terdiri dari lima puluh ayat!
Sidang Jum’at yang diberkahi Allah…
Bagaimana dengan hari-hari terakhir beliau setelah menunaikan shalat di rumahnya? Mari kita dengarkan Ummul mukminin Aisyah radhiyallahu’anha mengisahkannya,

“ثَقُلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: “أَصَلَّى النَّاسُ؟”. قُلْنَا: “لَا هُمْ يَنْتَظِرُونَكَ”. قَالَ: “ضَعُوا لِي مَاءً فِي الْمِخْضَبِ”. قَالَتْ: فَفَعَلْنَا فَاغْتَسَلَ فَذَهَبَ لِيَنُوءَ فَأُغْمِيَ عَلَيْهِ.

ثُمَّ أَفَاقَ فَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “أَصَلَّى النَّاسُ؟” قُلْنَا: “لَا، هُمْ يَنْتَظِرُونَكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ”. قَالَ: “ضَعُوا لِي مَاءً فِي الْمِخْضَبِ” قَالَتْ فَقَعَدَ فَاغْتَسَلَ ثُمَّ ذَهَبَ لِيَنُوءَ فَأُغْمِيَ عَلَيْهِ.

ثُمَّ أَفَاقَ فَقَالَ: “أَصَلَّى النَّاسُ؟” قُلْنَا: “لَا هُمْ يَنْتَظِرُونَكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ”. فَقَالَ: “ضَعُوا لِي مَاءً فِي الْمِخْضَبِ” فَقَعَدَ فَاغْتَسَلَ ثُمَّ ذَهَبَ لِيَنُوءَ فَأُغْمِيَ عَلَيْهِ.

ثُمَّ أَفَاقَ فَقَالَ: “أَصَلَّى النَّاسُ؟” فَقُلْنَا: “لَا هُمْ يَنْتَظِرُونَكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ” وَالنَّاسُ عُكُوفٌ فِي الْمَسْجِدِ يَنْتَظِرُونَ النَّبِيَّ عَلَيْهِ السَّلَام لِصَلَاةِ الْعِشَاءِ الْآخِرَةِ, فَأَرْسَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى أَبِي بَكْرٍ بِأَنْ يُصَلِّيَ بِالنَّاسِ. فَأَتَاهُ الرَّسُولُ فَقَالَ: “إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُكَ أَنْ تُصَلِّيَ بِالنَّاسِ” فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ, وَكَانَ رَجُلًا رَقِيقًا: “يَا عُمَرُ صَلِّ بِالنَّاسِ” فَقَالَ لَهُ عُمَرُ: “أَنْتَ أَحَقُّ بِذَلِكَ” فَصَلَّى أَبُو بَكْرٍ تِلْكَ الْأَيَّامَ.

 

 “Saat sakit Nabi shallallahu’alaihiwasallam semakin parah, beliau berkata, “Sudah shalatkah orang-orang?”.
“Belum, mereka menunggumu” jawab kami.
“Ambilkan untukku air di ember” perintah beliau.
Kami segera melakukan perintahnya, lalu beliau mandi. Tatkala akan bangkit berdiri, beliau tidak sadarkan diri.
Kemudian saat siuman beliau bertanya, “Sudahkah orang-orang shalat?”.
“Belum, mereka menunggumu wahai Rasulullah” jawab kami.
“Ambilkan untukku air di ember” perintah beliau.
Beliau duduk lalu mandi. Tatkala akan bangkit berdiri, beliau kembali tidak sadarkan diri.
Setelah siuman beliau bertanya, “Sudahkah orang-orang shalat?”.
“Belum, mereka menunggumu wahai Rasulullah” jawab kami.
“Ambilkan untukku air di ember” perintah beliau.
Beliau duduk lalu mandi. Tatkala akan bangkit berdiri, beliau kembali tidak sadarkan diri. Kemudian saat siuman beliau bertanya, “Sudahkah orang-orang shalat?”.
“Belum, mereka masih menunggumu wahai Rasulullah” jawab kami.
Saat itu para sahabat berdiam di masjid menunggu kedatangan Nabi shallallahu’alaihiwasallam untuk mengimami shalat Isya di akhir malam.
Nabi shallallahu’alaihiwasallam mengirim utusan ke Abu Bakar, memerintahkan beliau mengimami orang-orang.
Utusan Rasul mendatangi Abu Bakar seraya berkata, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam menginstruksikan padamu agar engkau mengimami kaum muslimin”.
Abu Bakar adalah seorang yang amat perasa, beliau berkata, “Wahai Umar imamilah mereka!”.
“Engkau lebih pantas untuk itu”.
Abu Bakar pun mengimami kaum muslimin hari-hari itu”. HR. Bukhari (hal. 138 no. 687).
Pembantu kesayangan Rasul shallallahu’alaihiwasallam; Anas bin Malik radhiyallahu’anhu menambahkan,

“أَنَّ أَبَا بَكْرٍ كَانَ يُصَلِّي لَهُمْ فِي وَجَعِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الَّذِي تُوُفِّيَ فِيهِ، حَتَّى إِذَا كَانَ يَوْمُ الِاثْنَيْنِ وَهُمْ صُفُوفٌ فِي الصَّلَاةِ، فَكَشَفَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِتْرَ الْحُجْرَةِ يَنْظُرُ إِلَيْنَا، وَهُوَ قَائِمٌ، كَأَنَّ وَجْهَهُ وَرَقَةُ مُصْحَفٍ، ثُمَّ تَبَسَّمَ يَضْحَكُ، فَهَمَمْنَا أَنْ نَفْتَتِنَ مِنْ الْفَرَحِ بِرُؤْيَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَنَكَصَ أَبُو بَكْرٍ عَلَى عَقِبَيْهِ لِيَصِلَ الصَّفَّ، وَظَنَّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَارِجٌ إِلَى الصَّلَاةِ، فَأَشَارَ إِلَيْنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَتِمُّوا صَلَاتَكُمْ، وَأَرْخَى السِّتْرَ، فَتُوُفِّيَ مِنْ يَوْمِهِ”.

 

“Saat Nabi shallallahu’alaihiwasallam sakit menjelang wafatnya, Abu Bakar lah yang mengimami para sahabat.
Ketika masuk hari Senin, saat itu para sahabat sedang duduk berbaris-baris menunggu shalat. Tiba-tiba Nabi shallallahu’alaihiwasallam membuka tirai pintu rumahnya untuk melihat kami. Beliau berdiri, wajahnya (bersinar indah) bagaikan kertas mushaf. Lalu beliau tersenyum bahagia. Hampir saja kami bubar karena amat bergembira melihat Nabi shallallahu’alaihiwasallam.
Abu Bakar bergerak mundur untuk bergabung dengan shaf para makmum, Karena mengira bahwa Nabi shallallahu’alaihiwasallam akan keluar untuk shalat. Nabi shallallahu’alaihi wasallam mengisyaratkan agar kami meneruskan shalat. Lalu menutup tirai pintunya dan wafat pada hari itu”. HR. Bukhari (hal. 136 no. 680).
Kaum muslimin dan muslimat yang kami hormati…   
Pelajaran berharga yang bisa dipetik bertaburan dalam sepenggal kisah wafatnya Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam tersebut di atas.
Di antara pelajaran yang terpenting adalah: betapa besar perhatian beliau terhadap perkara shalat. Di shalat Maghrib, yang merupakan shalat terakhir beliau mengimami kaum muslimin, dalam kondisi sakit yang luar biasa parahnya, beliau membaca surat al-Mursalat, yang panjangnya 50 ayat!
Bagaimana dengan kebanyakan kita, yang selalu memilih surat-surat pendek, terutama saat shalat sendirian. Sehingga hampir-hampir selama sekian puluh tahun melakukan shalat, surat yang dibaca tidak lepas dari al-Ikhlas, al-‘Ashr dan al-Kautsar. Panjang-panjangnya: surat al-Falaq dan an-Nas!
Kemudian, lihatlah bagaimana perjuangan Nabi shallallahu’alaihiwasallam agar bisa menunaikan shalat Isya bersama para sahabatnya! Beliau ‘jatuh-bangun’, dan sempat tidak sadarkan diri tiga kali, serta mandi hingga berkali-kali, demi menyegarkan tubuhnya, supaya bisa ke masjid! Padahal sebenarnya, seorang insan yang dalam kondisi sakit seperti itu, ia berhak mendapatkan keringanan untuk shalat di rumah.
Bagaimana dengan kita yang kerap ogah-ogahan ke masjid? Shalat sering dikalahkan dengan tugas kantor, pekerjaan sekolah, menjaga toko, menunggu sawah dan seabreg urusan duniawi lainnya.
Tubuh sehat dan badan bugar, namun masih sering enggan pergi ke masjid! Bahkan mungkin ada sebagian orang yang tatkala ditegur mengapa tidak ke masjid, dia menjawab, “Sedang sakit!”. Manakala ditanya apa sakitnya, dengan enteng dia menimpali, “Sakit panu!”. Hanya kepada Allah sajalah kita mengadu..
Bandingkan dengan Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam yang saat menderita sakit parah seperti itu tetap berusaha pergi ke masjid, walaupun harus dipapah oleh dua orang sahabat. Aisyah radhiyallahu’anha mengisahkan,

فَوَجَدَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ نَفْسِهِ خِفَّةً فَخَرَجَ يُهَادَى بَيْنَ رَجُلَيْنِ كَأَنِّي أَنْظُرُ رِجْلَيْهِ تَخُطَّانِ مِنْ الْوَجَعِ

 

“(Suatu hari) Nabi shallallahu’alaihiwasallam merasa agak mendingan, maka beliaupun keluar (menuju masjid) dengan dipapah dua orang. Aku melihat kedua kakinya tidak menapak tanah karena sakit yang dideritanya”. HR. Bukhari.
Semoga sepenggal kisah wafat Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bisa memberikan inspirasi pada kita untuk lebih meningkatkan kembali perhatian kita pada ibadah amaliah teragung dalam Islam, yakni: shalat.
Amîn yâ Mujîbas sâ’ilîn…

نفعني الله وإياكم بالقرآن العظيم، وبسنة سيد المرسلين.

أقول قولي هذا، وأستغفره العظيم الجليلَ لي ولكم، ولجميع المسلمين من كل ذنب، فاستغفروه؛ إنه هو الغفور الرحيم…

 

Khutbah Kedua

الحمد لله الواحد القهار، الرحيمِ الغفار، أحمده تعالى على فضله المدرار، وأشكره على نعمه الغِزار، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له العزيز الجبار، وأشهد أن نبينا محمداً عبده ورسوله المصطفى المختار، صلى الله عليه وعلى آله الطيبين الأطهار، وإخونه الأبرار، وأصحابه الأخيار، ومن تبعهم بإحسان ما تعاقب الليل والنهار.

 

Kaum muslimin dan muslimat yang kami cintai…
Di antara bentuk perhatian ekstra Nabi shallallahu’alaihiwasallam kepada perkara shalat, wasiat beliau kepada para orang tua agar memperhatikan pendidikan shalat untuk putra-putri mereka.
Beliau berpesan,

“مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ، وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْر”.

 

“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat saat berumur tujuh tahun, dan pukullah jika enggan saat mereka berumur sepuluh tahun”. HR. Abu Dawud (I/239 no. 495) dan dinilai sahih oleh al-Albani[2].
Alangkah indahnya saat adzan dikumandangkan, para bapak beserta putra-putranya berbondong-bondong menuju ke masjid memenuhi panggilan suci itu.
Namun kenyataan yang ada saat ini amat menyedihkan! Betapa banyak anak-anak yang telah berusia dewasa, sama sekali tidak pernah menginjakkan kakinya ke masjid! Apakah kiranya jawaban yang dipersiapkan orang tua mereka, manakala kelak ditanya oleh Allah tabaraka wa ta’ala di padang mahsyar, tentang amanah anak yang telah diembankan-Nya pada mereka?

هذا؛ وصلوا سلموا -رحمكم الله- على سيد الأولين والآخرين، كما أمركم بذلك رب العالمين، فقال تعالى قولاً كريماً: “إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً”.

اللهم صل على محمد وعلى آل محمد كما صليت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حميد مجيد, اللهم بارك على محمد وعلى آل محمد كما باركت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حميد مجيد.

ربنا ظلمنا أنفسنا وإن لم تغفر لنا وترحمنا لنكونن من الخاسرين

ربنا اغفر لنا ولإخواننا الذين سبقونا بالإيمان ولا تجعل في قلوبنا غلا للذين آمنوا ربنا إنك رؤوف رحيم

ربنا لا تزغ قلوبنا بعد إذ هديتنا وهب لنا من لدنك رحمة إنك أنت الوهاب

ربنا آتنا في الدنيا حسنة وفي الآخرة حسنة وقنا عذاب النار

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين

وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين. أقيموا الصلاة…

@ Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 1 Rajab 1432 / 3 Juni 2011

Kamis, 22 Januari 2015

Hukum Mengacungkan jari Telunjuk

Mengacungkan telunjuk di saat shalat, yang lazim dan umum di antara kaum muslimin adalah saat duduk tasyahud, baik awal maupun akhir. Bagaimana dengan mengacungkannya saat duduk di antara dua sujud? Apakah juga disunnahkan untuk melakukan hal tersebut?
Dalam hadits di Shahih Muslim, Kitâb al-Masâjid wa Mawâdhi’ ash-Shalât, Bâb Shifat al-Julûs… (V/81 no. 1307) disebutkan bahwa Nabi shallallahu’alaihiwasallam manakala duduk saat shalat, beliau mengacungkan jari telunjuknya. Berikut redaksi lengkap hadits tersebut:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ قَالَ: “كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَعَدَ فِي الصَّلَاةِ جَعَلَ قَدَمَهُ الْيُسْرَى بَيْنَ فَخِذِهِ وَسَاقِهِ وَفَرَشَ قَدَمَهُ الْيُمْنَى، وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُسْرَى عَلَى رُكْبَتِهِ الْيُسْرَى، وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُمْنَى، وَأَشَارَ بِإِصْبَعِهِ“.

Abdullah bin az-Zubair radhiyallahu’anhuma menuturkan, “Manakala Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam duduk dalam shalat, beliau menyelipkan kaki kirinya di antara paha dan betisnya dan menjulurkan kaki kanannya. Beliau meletakkan tangan kirinya di atas lutut kirinya dan meletakkan tangan kanannya di atas paha kanannya serta mengacungkan jarinya”.
Masih di Shahih Muslim juga, dalam Kitab dan Bab yang sama, di (V/81 no. 1308) disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam jika duduk berdoa saat shalat, beliau mengacungkan jari telunjuknya.
Berikut redaksi lengkap haditsnya:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ قَالَ: “كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَعَدَ يَدْعُو وَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُمْنَى وَيَدَهُ الْيُسْرَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُسْرَى، وَأَشَارَ بِإِصْبَعِهِ السَّبَّابَةِ وَوَضَعَ إِبْهَامَهُ عَلَى إِصْبَعِهِ الْوُسْطَى وَيُلْقِمُ كَفَّهُ الْيُسْرَى رُكْبَتَهُ”.

Abdullah bin az-Zubair radhiyallahu’anhuma bertutur, “Tatkala Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam duduk berdoa, beliau meletakkan tangan kanannya di atas paha kanannya dan tangan kirinya di atas paha kirinya, serta mengacungkan jari telunjuknya sembari menggandengkan antara jempol dengan jari tengahnya, dan mencengkeramkan telapak tangan kirinya ke lututnya”.
Dua hadits di atas menunjukkan -secara global- disyariatkannya mengacungkan telunjuk saat duduk ketika shalat. Dan dua hadits tersebut masih bersifat umum, belum menjelaskan secara spesifik, duduk yang mana yang dimaksud.1
Sebagaimana telah maklum bahwa duduk ketika shalat bermacam-macam. Ada duduk tasyahud awal, duduk tasyahud tsani, duduk antara dua sujud dan duduk istirâhah2. Apakah dua hadits di atas dan yang senada mencakup empat jenis duduk tersebut, atau yang dimaksud hanyalah duduk tasyahud awal dan tasyahud tsani?
Ada beberapa hadits sahih yang menunjukkan bahwa duduk yang dimaksud di atas adalah duduk tasyahud, baik awal maupun tsani.
Di antaranya: hadits dalam Sunan an-Nasâ’i, Kitâb al-Iftitâh, Bâb al-Isyârah bi al-Ushbu’ fî at-Tasyahhud al-Awwal (II/327), dan dinilai sahih oleh al-Albany dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (V/313 no. 2248). Hadits tersebut berbunyi:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ قَالَ: “كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا جَلَسَ فِي الثِّنْتَيْنِ أَوْ فِي الْأَرْبَعِ يَضَعُ يَدَيْهِ عَلَى رُكْبَتَيْهِ ثُمَّ أَشَارَ بِأُصْبُعِهِ“.
Abdullah bin az-Zubair radhiyallahu’anhuma menceritakan, “Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam manakala duduk di raka’at kedua, atau di raka’at keempat, beliau meletakkan kedua tangannya di atas kedua lututnya lalu mengacungkan jarinya”.
Senada dengan hadits di atas, hadits dalam Shahîh Ibn Khuzaimah, Kitâb ash-Shalat, Bâb Wadh’i al-Fakhidz al-Yumnâ ‘alâ al-Fakhidz al-Yusrâ… (I/367 no. 697), dengan redaksi berikut:

عن وائل بن حجر قال : “صليت مع النبي صلى الله عليه وسلم، فكبر حين دخل في الصلاة، ورفع يديه، وحين أراد أن يركع رفع يديه، وحين رفع رأسه من الركوع رفع يديه ووضع كفيه وجافى يعني في السجود وفرش فخذه اليسرى، وأشار بأصبعه السبابة يعني في الجلوس في التشهد“.
Wa’il bin Hujur radhiyallahu’anhu mengisahkan, “Aku pernah shalat bersama Nabi shallallahu’alaihiwasallam. Beliau bertakbir sembari mengangkat kedua tangannya saat memulai shalat. Tatkala akan ruku’ beliau mengangkat kedua tangannya, juga manakala bangkit dari ruku’. Manakala sujud, beliau meletakkan kedua telapak tangannya dan melebarkannya. Beliau menjulurkan kaki kirinya dan mengacungkan jari telunjuknya, yakni tatkala duduk tasyahud”.
Hadits riwayat an-Nasa’i dan Ibn Khuzaimah di atas menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan duduk yang disyariatkan didalamnya mengacungkan jari telunjuk, bukanlah sembarang duduk, namun yang dimaksud adalah duduk saat tasyahud, baik awal maupun tsani.
Kaidah ilmu Ushul Fiqh menyatakan “Yuhmal al-Muthlaq ‘alâ al-Muqayyad” (nas yang bersifat global dipahami berdasarkan nas yang bersifat terperinci).
Adapun duduk antara dua sujud, juga duduk istirâhah, maka tidak disyariatkan mengacungkan telunjuk, sebab tidak adanya dalil yang menunjukkan praktek tersebut. 3
Namun demikian, barangkali ada pembaca yang berkomentar bahwa ada ulama yang berpendapat disyariatkannya mengacungkan telunjuk saat duduk antara dua sujud.4 Argumentasinya: hadits yang diriwayatkan dalam Mushannaf Abd ar-Razzâq, Bâb Takbîrah al-Iftitâh wa Raf’i al-Yadain (II/68 no. 2522), bunyinya:

عن وائل بن حجر قال: “رمقت النبي صلى الله عليه وسلم … ثم جلس فافترش رجله اليسرى، ثم وضع يده اليسرى على ركبته اليسرى، وذراعه اليمنى على فخذه اليمنى، ثم أشار بسبابته، ووضع الابهام على الوسطى حلق بها، وقبض سائر أصابعه، ثم سجد…”.

Wa’il bin Hujur radhiyallahu’anhu bertutur, “Aku memperhatikan Nabi shallallahu’alaihiwasallam (tatkala shalat) … Beliau duduk dan menjulurkan kaki kirinya, sembari meletakkan tangan kirinya di atas lutut kirinya, dan lengan kanannya di atas paha kanannya, lalu mengacungkan jarinya dan membuat lingkaran dengan mempertemukan ibu jarinya dengan jari tengah, kemudian beliau sujud.
Zahir hadits di atas menunjukkan bahwa saat duduk antara dua sujud pun juga disyariatkan mengacungkan telunjuk. Sebab hadits tersebut menyatakan bahwa setelah mengacungkan jari telunjuk, Nabi shallallahu’alaihiwasallam sujud. Ini menunjukkan bahwa acungan telunjuk tersebut dilakukan di antara dua sujud.5

Jawabnya: hadits tersebut bermasalah dari sisi keabsahannya. Para pakar hadits menjelaskan bahwa tambahan kalimat “kemudian beliau sujud” setelah kalimat “mengacungkan jarinya” hanya ada dalam riwayat Sufyan ats-Tsaury. Dan ini menyelisihi riwayat para perawi lainnya yang tsiqah (terpercaya) dan jumlah mereka lebih banyak, di mana mereka tidak menyebutkan tambahan kalimat “kemudian beliau sujud” setelah kalimat “mengacungkan telunjuknya”. Bahkan banyak hadits yang menjelaskan bahwa acungan jari tersebut dilakukan setelah sujud kedua. Di antara para perawi tersebut: Za’idah bin Qudamah, Bisyr bin al-Mufaddhal, Sufyan bin ‘Uyainah, Syu’bah, Abu al-Ahwash, Khalid, Zuhair bin Mu’awiyah, Musa bin Abi Katsir dan Abu ‘Awanah.6
Dalam ilmu Musthalah Hadits, jenis riwayat bermasalah seperti dicontohkan di atas, diistilahkan dengan hadits Syâdz. Definisinya: riwayat yang dibawakan perawi tsiqah, namun riwayat tersebut menyelisihi riwayat yang disampaikan para perawi lain yang lebih kuat. Dan hadits jenis ini dikategorikan dha’if (lemah).7

Kesimpulan:
Mengacungkan telunjuk saat duduk dalam shalat hanya disyariatkan dalam duduk tasyahud awal dan tasyahud tsani, adapun saat duduk di antara dua sujud maupun duduk istirâhah maka tidak disunnahkan. Wallahu ta’ala a’lam. (Abdullah Zaen).
Sumber :@ Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 26 R Tsani 1432 / 31 Maret 2011 Bahan Bacaan:
  • Tamâm al-Minnah fî at-Ta’lîq ‘alâ Fiqh as-Sunnah, karya Syaikh Muhammad Nashirudin al-Albany, Riyadh: Dar ar-Rayah, cet V, 1419/1998.
  • Al-Mushannaf, karya Imam Abdurrazzaq ash-Shan’any, tahqiq Habiburrahman al-A’zhamy, Beirut: al-Maktab al-Islamy, cet II, 1403/1983.
  • Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah, karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany, Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, tc, 1425/1995.
  • Zâd al-Ma’âd fî Hady Khair al-‘Ibâd, karya Imam Ibn al-Qayyim, tahqiq Syu’aib al-Arna’uth dan Abdul Qadir al-Arna’uth, Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, cet III, 1421/2000.
  • Shahîh Ibn Khuzaimah, karya Imam Ibn Khuzaimah, tahqiq Dr. Muhammad Mushthafa al-A’zhamy, Beirut: al-Maktab al-Islamy, cet III, 1424/2003.
  • Shahîh Muslim bi Syarh al-Imam an-Nawawy, karya Imam Muslim dan Imam an-Nawawy, tahqiq Khalil Ma’mun Syiha, Beirut: Dar al-Ma’rifah, cet VI, 1420/1999.
  • Sunan an-Nasâ’iy bi Syarh al-Hafizh Jalaluddin as-Suyuthy wa Hasyiyah as-Sindy, Karya Imam an-Nasa’i, as-Suyuthy dan as-Sindy, Beirut: Dar al-Fikr, cet I, 1348/1930.
  • Muqaddimah Ibn Shalâh wa Mahâsin al-Ishtilâh, karya Imam Ibn Shalâh dan al-Bulqiny, tahqiq Dr. Aisyah Abdurrahman,Kairo: Dar al-Ma’arif, tc, tt.
  • An-Nukat ‘alâ Nuz-hah an-Nazhar fî Taudhîh Nukhbah al-Fikr, karya al-Hafizh Ibn Hajar dan Syaikh Ali bin Hasan al-Halaby, Damam: Dar Ibn al-Jauzy, cet III, 1416/1995.
Lihat: Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah karya Syaikh al-Albany (V/309).
Duduk istirâhah adalah duduk sejenak setelah sujud kedua di raka’at pertama dan ketiga sebelum bangkit ke raka’at kedua dan keempat. Ada sebagian ulama yang memandang bahwa duduk ini disyariatkan dalam shalat ada pula yang memandang sebaliknya. Nampaknya pendapat pertama lebih kuat.
Cermati: Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (V/311, 313).
Lihat: Zâd al-Ma’âd karya Ibn al-Qayyim (I/230-231).
Periksa: Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (V/312).
Untuk detail riwayat para perawi tersebut ada di kitab apa, silahkan merujuk: Tamâm al-Minnah fî at-Ta’lîq ‘alâ Fiqh as-Sunnah karya Syaikh al-Albany (hal. 214-215).
Lihat: Muqaddimah Ibn ash-Shalâh (hal. 237) dan an-Nukat ‘alâ Nuz-hah an-Nazhar karya Syaikh Ali al-Halaby (hal. 97-98).

Rabu, 21 Januari 2015

PERMASALAHAN QUNUT SUBUH

Qunut Subuh

     Doa Qunut subuh sering sekali menjadi bahan perselisihan beberapa ormas islam yang tiada berujung, Tak jarang hanya karena masalah doa qunut, menimbulkan pertengkaran diantara mereka. Mari kita buka bersama permasalahan ini agar menjadi jelas kedudukannya.
      Mereka yang meyakini doa qunut subuh sebenarnya berdasar pada sebuah hadis, yg bunyinya 
"Anas bin Malik berkata, "Rasulullah Shalallaahu 'alaihiwasallam masih terus melakukan qunut ketika shalat shubuh sampai beliau meninggal dunia"
Hadis tersebut diatas sebenarnya adalah dha'if , sehingga beberapa ulama menyatakan doa qunut subuh itu bid'ah. Syaikh al-'Allaamah ibn 'Utsaimin rahimahullah menasehatkan, "Lihatlah para imam (kaum muslimin) yang mereka benar-benar memahami nilai-nilai persatuan. Imam Ahmad rahimahullah berpendapat qunut shalat Subuh adalah bid'ah. Meskipun demikian beliau berkata, "jika engkau shalat di belakang imam yang qunut subuh maka ikutilah qunutnya, dan aminilah doa imam tersebut".  ini semua demi persatuanbarisan dan  hati, serta agar tidak timbul kebencian antara sebagian kita terhadap yang lain."
Syaikh Dr. Muhammad bin Haadi al-Madkalii hafizhahullaah juga memberikan keterangan serupa, ketika hal itu ditanyakan. Kenapa ketika jadi makmun  kita ikut mengangkat tangan dan mengamini?
Syaikh al-'Alamah Abdul Muhsin al-'Abbaad hafizhahullaah, setelah merajihkan bahwa hadits tersebut dha'if, beliau menjelaskan bagaimana seharusnya makmum bersikap dalam permasalahan-permasalahan seperti ini, "seseorang mengikuti imam dalam masalah-masalah khilaafiyyah (yang masih diperselisihkan oleh para ulama)".... Dia harus mengikuti imam dan tidak boleh memisahkan diri atau meninggalkan shalat dibelakang orang yang berqunut". Jika seorang memandang bahwa amalan itu tidak sejalan (dengan sunnah) atau dia berpendapat bahwa perkara itu bid'ah sedangkan yang lain berpendapat bahwa itu adalah sunnah, dalam kondisi seperti itu dia tidak boleh meninggalkan shalat di belakang orang yang berbeda pendapat dengannya saat dia mengamalkan apa yang ia yakini"
Sampai saat ini belum kami temukan riwayat yang berisi : Imam Ahmad mengatakan bahwa terus menerus qunut di shalat subuh adalah bid'ah. Yang ada adalah  Imam Ahmad berpendapat bahwa terus menerus qunut di shalat subuh hukumnya makruh (masa'il al-Imam Ahmad riwayat Ibn Hani' dan Al-Mughni karya Ibn Qudamah). Dan ini adalah pendapat sebagian besar ulama madzhab Hanbali,  Sedangkan yang berpendapat amalan tersebut adalah bid'ah sepengetahuan kami adalah Ibn Tamim; salah seorang ulama madzhab Hanbali. Wallahu a'lam.
Diantara ulama yang berpendapat bahwa qunut subuh hukumnya sunah adalah :
1. Imam malik (lihat; al-Istidzkar karya Ibn Abdil Barr:VI/201, al-Mudawwanah al-Kubra:I/100 dan Bidayah al-Mujtahid karya Ibn Rusyd;II239)
2. Imam Syafi'i (Lihat ; Al-Umm:I/246)
3. Sebagian besar ulama madzhab Syafi'i 
4. Imam Ath Thabari (lihat : Tharh at-Tatsrib karya al-'Iraqi:I/289)
5. Imam Dawud azh-zhahiri
6. Imam Ibn Abi Laila
7. Riwayat dari Imam Ahmad (lihat : Al-Istidzkar karya Ibn Abdil Barr:VI/201) dll.
Mereka yang berpendapat hukum doa qunut subuh adalah sunah, selain berdasar pada hadis dha'if tersebut, juga berdalilkan dengan atsar-atsar sahih dan hasan dari sebagian sahabat yang berqunut ketika subuh. Perlu diketahui, Atsar adalah kebiasaan yang dilakukan para sahabat dalam beribadah. mereka diantaranya :
1. Anas bin Malik (diriwayatkan oleh ath-Thabari)
2. Abu Hurairah (diriwayatkan oleh ath-Tahawi)
3. Ibnu 'Abbas ra (diriwayatkan oleh Ibn Abi Syaibah )
dari penjelasan diatas, maka menghukumi doa qunut subuh sebagai sebuah bid'ah adalah sesuatu yang berat; karena para ulama besar juga mengatakan itu sunah, bahkan sebagian sahabat nabi melaksanakannya. Para sahabat nabi adalah generasi terbaik umat ini dalam beribadah, mereka sangat menjaga ibadahnya agar sesuai tuntunan rosulullah.
Apalagi ada juga yang menguatkan hadis qunut baik ulama dahulu maupun sekarang, diantara ulama terdahulu :
1. Al-Hafizh Ibnu 'Abdil Hadi (lihat; Tanqih at-Tahqiq)
2. Imam Abu Abdillah al-Balkhi
3. Imam Al-Baihaqi (lihat; Al-Badr al-Munir karya ibn al-Mulaqqin)
Ulama kontemporer :
1. Syaikh al-Muhaddits Abdurrahman al-Mu'allimi (lihat: at-Tankil)
Oleh karena itu ibnu al-Qayyim dalam Zad al-Ma'ad membantah golongan yang mengataan bahwa qunut subuh adalah bid'ah, dan beliau berpendapat baahwa yang berqunut baik, begitu pula yang tidak berqunut juga baik.

Adapun Atsar yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dari salah seorang sahabat bernama Thariq bin Asy-yam ra, ketika beliau ditanya anaknya, " Selama engkau shalat di belakang Rasulullah,Abu bakr, 'Umar dan 'Utsman, apakah engkau dapatkan mereka berqunut?". Thariq menjawab,"wahai anakku itu muhdats(bid'ah)!". Atsar ini telah dijawab oleh para ulama, antara lain al-Baihaqi dalam as-sunan al-Kubra dan al-Atsram dalam Nasikh al-Hadits wa Mansukhuh. Mereka menjawab dengan suatu kaidah ushuliyyah "orang yang menghafal dalil lebih dikedepankan atas orang yang tidak menghapalnya dan orang yang melihat suatu peristiwa lebih dikedepankan atas oran yang tidak melihat. Memang Thaiq tidak melihat Rosulllah shallallahu 'Alaihiwasallam berqunut, namun sahabat nabi yang lain telahmelihatnya. Maka yang melihatnya dikedepankan atas yang tidak melihat.

Demikian permasalah doa qunut yang ternyata keduanya memiliki dalil yang kuat, sehingga tidak bijak kita langsung menyatakan bid'ah. Hal terbaik adalah kita saling menghormati antar umat muslim. Jika kita berkeyakinan doa qunut adalah bid'ah, maka ketika kita ma'mum di belakan imam yang menggunakan doa qunut, kita boleh mengamininya. Begitu pula sebaliknya. semoga apa yang kami sampaikan bisa bermanfaat bagi pembaca
Nara sumber : Ustadz Abdullah Zaen Lc MA

Selasa, 20 Januari 2015

Kalimat Tahmid-Kapan mengucapkan?

Setelah menjelaskan berbagai keistimewaan kalimat tahmid, tiba saatnya kita mempelajari kapan saja kita diperintahkan mengucapkan kalimat mulia ini. Atau dengan kata lain, momen-momen pengucapan Alhamdulillah.
Sebenarnya, setiap muslim dianjurkan untuk senantiasa memuji Allah kapanpun juga. Sebab di seluruh waktunya, pasti ia berada dalam curahan nikmat Allah ta’ala. Entah itu berupa nikmat duniawi maupun ukhrawi. Baik itu berupa kebaikan yang didapatkan atau marabahaya yang terhindarkan.
Alasan lain mengapa kita perlu untuk senantiasa memuji Allah, adalah sebab Dia adalah dzat yang pantas untuk selalu dipuji; dikarenakan kesempurnaan sifat-sifat dan nama-nama-Nya. Masing-masing dari nama dan sifat-Nya mendorong kita untuk memuji-Nya, bagaimana bila seluruh nama dan sifat tersebut terkumpul dalam satu dzat, yakni Allah ta’ala?
Namun, ada beberapa kondisi yang mendapat penekanan khusus dari agama, agar seorang hamba mengucapkan kalimat tahmid pada saat itu. Di antaranya:

1. Setelah selesai makan dan minum
Hal ini berlandaskan firman Allah ta’ala dalam QS. Al-Baqarah (2): 172, juga sabda Rasul shallallahu ‘alaihiwasallam, “Sesungguhnya Allah akan meridhai hamba-Nya manakala selesai makan atau minum ia memuji-Nya”. HR. Muslim dari Anas bin Malik.
Redaksi hamdalah atau pujian pada Allah setelah selesai makan ada beberapa macam. Antara lain:
a. “الْحَمْدُ لِلَّهِ حَمْداً كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ، غَيْرَ مَكْفِيٍّ، وَلَا مُوَدَّعٍ، وَلَا مُسْتَغْنًى عَنْهُ رَبُّنَا”
Alhamdulillâhi hamdan katsîron thoyyiban mubârokan fîhi, ghoiro makfiyyin, wa lâ muwadda’in, wa lâ mustaghnâ ‘anhu robbunâ”.
Artinya: “Segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak, baik dan diberkahi. Pujian yang tidak tertolak, tidak ditinggalkan dan tidak dibuang (bahkan dibutuhkan). (Dialah) Rabb kami”. HR. Bukhari.
b. “الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَطْعَمَنِي هَذَا الطَّعَامَ وَرَزَقَنِيهِ مِنْ غَيْرِ حَوْلٍ مِنِّي وَلَا قُوَّةٍ”
Alhamdulillâhilladzî ath’amanî hâdzâ wa rozaqonîhi min ghoiri haulin minnî wa lâ quwwatin”.
Artinya: “Segala puji bagi Allah yang telah memberiku makanan ini, tanpa adanya daya dan kekuatan dariku”. HR. Abu Dawud dan sanadnya dinilai sahih oleh al-Hakim. Adapun Syaikh al-Albany menyatakan hadits ini hasan
Catatan:
Masih ada redaksi hamdalah sesudah makan lainnya yang berlandaskan hadits sahih. Banyak di antaranya telah disebutkan oleh Imam an-Nawawy dalam kitabnya al-Adzkâr. Adapun redaksi yang masyhur di kalangan banyak kaum muslimin yang berbunyi: “Alhamdulillahilladzî ath’amanâ wa saqônâ wa ja’alanâ minal muslimîn”, redaksi ini disebutkan dalam suatu hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dan yang lainnya. Hanya saja hadits ini dinilai lemah oleh Imam adz-Dzahaby dan Syaikh al-Albany; dikarenakan sanadnya bermasalah.

2. Ketika shalat, terutama saat i’tidal (berdiri setelah ruku’ sebelum sujud).
Banyak redaksi hamdalah untuk momen ini, di antaranya:
a. Robbanâ wa lakal hamdu hamdan katsîron thoyyiban mubârokan fîhi.
Dalilnya: hadits yang dituturkan Rifa’ah bin Rafi’ az-Zuraqy radhiyallahu’anhu,
كُنَّا يَوْمًا نُصَلِّي وَرَاءَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ الرَّكْعَةِ قَالَ: “سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ”. قَالَ رَجُلٌ وَرَاءَهُ: “رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ”. فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ: “مَنْ الْمُتَكَلِّمُ؟”، قَالَ: “أَنَا”، قَالَ: “رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلَاثِينَ مَلَكًا يَبْتَدِرُونَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلُ”.
“Suatu hari kami shalat di belakang Nabi shallallahu’alaihiwasallam. Saat mengangkat kepalanya setelah ruku’, beliau membaca, “Sami’allôhu liman hamidah (Allah mendengar siapa yang memuji-Nya)”.
Seorang makmum menimpali, “Robbanâ wa lakal hamdu hamdan katsîron thoyyiban mubârokan fîhi (Rabb kami, milik-Mu lah segala pujian yang banyak, baik dan diberkahi)”.
Selesai shalat beliau bersabda, “Siapakah yang mengucapkan bacaan tadi?”.
Laki-laki tadi menjawab, “Saya”.
Beliau menjelaskan, “Aku melihat lebih dari tiga puluh malaikat berlomba siapakah yang menulisnya pertama kali”. HR. Bukhari.
b. Allôhumma robbanâ lakal hamdu mil’as samâwâti wa mil’al ardhi, wa mil’a mâ syi’ta min syai’in ba’du.
Dalilnya: hadits yang disampaikan Ibnu Abi Aufa radhiyallahu’anhu,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَفَعَ ظَهْرَهُ مِنْ الرُّكُوعِ قَالَ: “سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ، اللَّهُمَّ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ مِلْءَ السَّمَاوَاتِ وَمِلْءَ الْأَرْضِ وَمِلْءَ مَا شِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ”.
   “Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam jika mengangkat punggungnya saat bangkit dari ruku’, beliau membaca: “Sami’allôhu liman hamidah. Allôhumma robbanâ lakal hamdu mil’as samâwâti wa mil’al ardhi wa mil’a mâ syi’ta min syai’in ba’du (Allah mendengar siapa yang memuji-Nya. Ya Allah, Rabb kami, punya-Mu lah segala pujian seluas langit dan bumi serta seluas apapun selainnya sesuai kehendak-Mu)”. HR. Muslim.
Dan masih ada redaksi lain yang berlandaskan hadits sahih

3. Setelah shalat.                                       
Jumlahnya boleh 33 kali, juga boleh 10 kali[1].
Dalilnya: Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda,
“مَنْ سَبَّحَ اللَّهَ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ، وَحَمِدَ اللَّهَ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ، وَكَبَّرَ اللَّهَ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ، فَتْلِكَ تِسْعَةٌ وَتِسْعُونَ، وَقَالَ تَمَامَ الْمِائَةِ: “لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ”؛ غُفِرَتْ خَطَايَاهُ وَإِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ”.
“Barang siapa bertasbih kepada Allah setiap selesai shalat 33 kali, bertahmid 33 kali, bertakbir 33 kali, dan ini berjumlah 99 kali, lalu menutupnya di hitungan ke seratus dengan: “Lâ ilâha Ilallôhu wahdahu lâ syarîka lah, lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ‘alâ kulli syai’in qadîr”; niscaya dosa-dosanya akan diampuni walaupun sebanyak buih di lautan”. HR. Muslim.
Dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda,
“خَصْلَتَانِ أَوْ خَلَّتَانِ لَا يُحَافِظُ عَلَيْهِمَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ إِلَّا دَخَلَ الْجَنَّةَ، هُمَا يَسِيرٌ وَمَنْ يَعْمَلُ بِهِمَا قَلِيلٌ. يُسَبِّحُ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ عَشْرًا، وَيَحْمَدُ عَشْرًا، وَيُكَبِّرُ عَشْرًا؛ فَذَلِكَ خَمْسُونَ وَمِائَةٌ بِاللِّسَانِ، وَأَلْفٌ وَخَمْسُ مِائَةٍ فِي الْمِيزَانِ. وَيُكَبِّرُ أَرْبَعًا وَثَلَاثِينَ إِذَا أَخَذَ مَضْجَعَهُ، وَيَحْمَدُ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ، وَيُسَبِّحُ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ؛ فَذَلِكَ مِائَةٌ بِاللِّسَانِ وَأَلْفٌ فِي الْمِيزَان. فَلَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْقِدُهَا بِيَدِهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ هُمَا يَسِيرٌ وَمَنْ يَعْمَلُ بِهِمَا قَلِيلٌ؟ قَالَ يَأْتِي أَحَدَكُمْ يَعْنِي الشَّيْطَانَ فِي مَنَامِهِ فَيُنَوِّمُهُ قَبْلَ أَنْ يَقُولَهُ وَيَأْتِيهِ فِي صَلَاتِهِ فَيُذَكِّرُهُ حَاجَةً قَبْلَ أَنْ يَقُولَهَا”.
“Ada dua amalan, yang jika senantiasa dijaga seorang muslim; niscaya ia akan masuk surga. Keduanya mudah, namun yang mengamalkannya sedikit. (Amalan pertama): bertasbih setiap selesai shalat 10 kali, bertahmid 10 kali dan bertakbir 10 kali, semuanya berjumlah 150 di lisan, namun tertulis 1500 pahala di timbangan. (Amalan kedua): Bertakbir sebelum tidur 34 kali, bertahmid 33 kali serta bertasbih 33 kali; semuanya berjumlah 100 di lisan, namun tertulis 1000 pahala di timbangan.
Aku telah melihat Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam menghitungnya dengan tangannya.
Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, jika kedua amalan tersebut ringan, mengapa yang mengamalkannya sedikit?”.
“Sebab setan mendatangi salah satu kalian sebelum tidur dan membuatnya mengantuk sebelum membaca dzikir tersebut. Juga mendatanginya saat shalat lalu mengingatkannya dengan (berbagai) urusan sebelum ia sempat untuk mengucapkan dzikir tersebut”.
HR. Abu Dawud dan isnadnya dinilai sahih oleh Imam an-Nawawy[. Adapun Syaikh al-Albany menyatakan hadits ini sahih

4. Di awal khutbah, pelajaran, serta di awal buku dan yang semisal.
Dalilnya: hadits yang disebutkan Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu:
“عَلَّمَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خُطْبَةَ الْحَاجَةِ: “الْحَمْدُ لِلَّهِ نَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ”.
“Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam mengajari kami khutbah al-hajah (pembuka urusan) dengan mengucapkan: “Alhamdulillâh, nasta’înuhu wa nastaghfiruh, wa na’ûdzu bihi min syurûri anfusinâ, man yahdillâhu fa lâ mudhilla lah, wa man yudhlil fa lâ hâdiya lah, wa asyhadu al lâ ilâha illallâh, wa asyhadu anna muhammadan ‘abduhu wa rosûluh (Segala puji bagi Allah. Kami mohon pertolongan, ampunan dan perlindungan pada-Nya dari kejahatan diri kami. Barang siapa dikaruniai hidayah dari Allah, niscaya tidak ada yang bisa menyesatkannya. Dan barang siapa disesatkan-Nya niscaya tidak ada yang bisa memberinya petunjuk. Aku bersaksi bahwa tidak ada yang berhak disembah selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya)…”. HR. Abu Dawud.[1]

5. Saat mendapat kenikmatan atau terhindar marabahaya, baik itu berkenaan dengan diri sendiri maupun orang lain.
Di antara dalilnya: hadits Abu Hurairah radhiyallahu’anhu:
“Saat malam kejadian isra’ di Elia (Palestina) Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam dihadapkan dengan dua buah mangkok; pertama berisi khamr dan yang kedua berisi susu. Beliau pun melihat keduanya, lalu mengambil mangkok yang berisi susu.
Malaikat Jibril pun berucap, “Alhamdulillah (Segala puji bagi Allah) Yang telah memberimu petunjuk kepada fitrah. Andaikan engkau mengambil khamr; niscaya umatmu akan sesat”. HR. Bukhari dan Muslim
6. Ketika memakai pakaian baru.
Dalilnya: hadits Abu Sa’id al-Khudry:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اسْتَجَدَّ ثَوْبًا سَمَّاهُ بِاسْمِهِ إِمَّا قَمِيصًا أَوْ عِمَامَةً، ثُمَّ يَقُولُ: “اللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ كَسَوْتَنِيهِ، أَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِهِ وَخَيْرِ مَا صُنِعَ لَهُ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّهِ وَشَرِّ مَا صُنِعَ لَهُ”.
“Jika Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam memakai pakaian baru, beliau menyebutkannya, entah itu baju atau sorban, lalu membaca, “Allôhumma lakal hamdu Anta kasautanîhi, as’aluka min khoirihi wa khoiri mâ shuni’a lah, wa a’ûdzubika min syarrihi wa syarri mâ shuni’a lah (Ya Allah, kepunyaan-Mu lah segala pujian. Engkau yang telah memberiku pakaian ini. Aku memohon pada-Mu kebaikan pakaian ini dan tujuan pembuatannya, serta aku memohon perlindungan pada-Mu dari keburukannya dan keburukan tujuan pembuatannya)”. HR. Abu Dawud dan dinilai sahih oleh Imam an-Nawawy


7. Saat bersin.
Bersin merupakan salah satu nikmat besar Allah atas para hamba-Nya, dengan bersin seorang hamba bisa mengeluarkan sesuatu dalam hidung yang jika dibiarkan bisa berbahaya bagi tubuh. Karena itulah, ketika bersin, seorang hamba diperintahkan untuk memuji Allah dengan mengucapkan hamdalah.

Dalilnya: Sabda Nabi shallallahu’alaihiwasallam,
“إِذَا عَطَسَ أَحَدُكُمْ فَلْيَقُلْ: “الْحَمْدُ لِلَّهِ”، وَلْيَقُلْ لَهُ أَخُوهُ أَوْ صَاحِبُهُ: “يَرْحَمُكَ اللَّهُ” فَإِذَا قَالَ لَهُ يَرْحَمُكَ اللَّهُ فَلْيَقُلْ: “يَهْدِيكُمُ اللَّهُ وَيُصْلِحُ بَالَكُمْ”.
 “Jika salah satu kalian bersin ucapkanlah, “Alhamdulillah”. Temannya hendaklah mengatakan, “Yarhamukallôh (Semoga Allah merahmatimu)”. Jika temannya membalas demikian, hendaknya ia mengucapkan “Yahdîkumullôhu wa yushlihu bâlakum (Semoga Allah mengaruniakan padamu petunjuk dan memperbaiki hatimu)”. HR. Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu.
Namun apabila seseorang bersin lebih dari tiga kali, maka tidak perlu lagi mengucapkan Yarhamukallôh”. Namun doakan untuknya kesembuhan; karena itu pertanda ia sedang sakit. Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam menerangkan,
“شَمِّتْ أَخَاكَ ثَلاَثًا، فَمَا زَادَ فَهُوَ زُكَامٌ”.
“Doakan saudaramu saat bersin tiga kali. Tetapi bila lebih, maka itu adalah sakit”. HR. Abu Dawud dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu dan dinilai hasan oleh al-Albany.
Adapun jika orang yang bersin tidak mengucapkan “Alhamdulillah”, maka ia tidak berhak untuk didoakan Yarhamukallôh”. Sebagaimana dijelaskan Nabi shallallahu’alaihiwasallam  di dalam sabdanya, “Jika salah satu di antara kalian bersin lalu ia mengucapkan “Alhamdulillah”, maka doakanlahYarhamukallôh”. Namun bila tidak mengucapkan “Alhamdulillah”, maka janganlah doakanYarhamukallôh”. HR. Muslim dari Abu Burdah radhiyallahu’anhu.
8. Ketika melihat orang lain mendapatkan cobaan baik dalam hal duniawi maupun agama.
Cobaan duniawi contohnya: cacat, buta, tuli dan yang semisal. Cobaan agama contohnya: tenggelam dalam kemaksiatan, bid’ah dan yang semisal.
Dalilnya: hadits Abu Hurairah, bahwa Nabi shallallahu’alaihiwasallam,
“مَنْ رَأَى مُبْتَلًى فَقَالَ: “الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي عَافَانِي مِمَّا ابْتَلَاكَ بِهِ وَفَضَّلَنِي عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقَ تَفْضِيلًا”؛ لَمْ يُصِبْهُ ذَلِكَ الْبَلَاءُ”.
“Barang siapa melihat orang yang mendapatkan cobaan lalu ia mengucapkan, “Alhamdulillâhilladzî ‘âfânî mimmabtalâka bihi, wa faddholanî ‘alâ katsîrin mimman kholaqo tafdhîlâ (Segala puji bagi Allah yang telah menghindarkanku dari cobaan yang menimpamu, serta  memuliakanku dibanding banyak makhluk-Nya)”; niscaya ia tidak akan diuji dengan cobaan tersebut”. HR. Tirmidzy dan dinyatakan hasan oleh beliau dan Syaikh al-Albany.

Sumber : ustads Abdullah Zaen Lc. MA




Kalimat Tahmid - Redaksi terbaik Tahmid

Seorang muslim dalam beribadah kepada Allah ta’ala memiliki panduan yang jelas. Tata cara yang dijalaninya harus selalu berusaha mencontoh Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam. Tak terkecuali dalam berdzikir.
Ada beberapa redaksi tahmid yang termaktub dalam al-Qur’an maupun hadits. Redaksi-redaksi itulah yang seharusnya dipilih oleh seorang muslim. Di antaranya:

“Alhamdulillahi Robbil ‘âlamîn” (Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam). QS. Al-Fatihah: 1.
“Alhamdulillâhi hamdan katsîron thoyyiban mubârokan fîhi mubârokan ‘alaihi, kamâ yuhibbu Robbunâ wa yardhô” (Segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak, baik, diberkahi dan diberkahi. Sebagaimana yang dicintai Rabb kami dan diridhai-Nya). HR. Abu Dawud dan dinilai hasan oleh al-Albany.
Alhamdulillâhi hamdan katsîron thoyyiban mubârokan fîhi, ghoiro makfiyyin, wa lâ muwadda’in, wa lâ mustaghnâ ‘anhu Robbunâ” (Segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak, baik dan diberkahi. Pujian yang tidak tertolak, tidak ditinggalkan dan tidak dibuang (bahkan dibutuhkan). (Dialah) Rabb kami). HR. Bukhari.
Dan masih ada redaksi lainnya.
Peringatan penting
Ada sebuah redaksi tahmid yang sering dipakai oleh banyak orang. Yaitu: “Alhamdulillâhi Robbil ‘âlamîn hamdan yuwâfî ni’amahu wa yukâfi’u mazîdah” (Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam, dengan pujian yang menyamai nikmat-nikmat-Nya, bahkan melebihinya).
Redaksi ini, walaupun banyak dibaca orang, namun ternyata tidak bersumber dari hadits yang sahih atau minimal hasan. Juga tidak diamalkan para sahabat. Demikian yang dijelaskan oleh para ulama Islam. Terlebih lagi kandungan maknanya juga bermasalah.
Dalam redaksi itu disebutkan bahwa pujian yang diucapkan hamba menyamai nikmat-nikmat yang dikaruniakan Allah. Ini jelas tidak benar. Satu nikmat Allah saja, tidak mungkin pujian seorang hamba bisa menyamainya. Apalagi seluruh nikmat-Nya. Karena karunia Allah tidak mungkin terhitung, sedangkan pujian hamba bisa terhitung.
Yang lebih parah lagi, di redaksi tahmid tersebut juga dinyatakan bahwa pujian hamba melebihi nikmat Allah! Ini  tentu ungkapan yang tidak beretika kepada Allah. Andaikan menyamai nikmat Allah saja tidak mungkin, apalagi melebihinya?!*
Sekedar ilustrasi betapa besarnya karunia Allah kepada para hamba-Nya. Tahukah Anda bahwa untuk bernafas, dalam satu hari kita membutuhkan 14.400 liter udara? Dalam bernafas kita membutuhkan dua unsur gas utama, yaitu oksigen dan nitrogen. Perlu diketahui bahwa harga oksigen Rp. 25.000 per liter dan nitrogen Rp. 9.950. Jadi setiap harinya manusia menghirup udara sekurang-kurangnya senilai Rp. 176.652.165. Dengan kata lain, bila manusia diminta membayar harga udara yang dihirupnya, maka setiap bulan ia harus menyediakan uang sekitar 5,3 miliar rupiah![1]
Ini baru nikmat udara yang kita kupas. Bagaimana dengan nikmat-nikmat Allah lainnya??  

sumber ; Ustadz Abdullah Zaen Lc. MA

Kalimat Tahmid-Keistimewaannya

Kalimat tahmid merupakan salah satu dari 4 kalimat yang mulia, yaitu subhanallah, alhamdulillah, laa ilaaha ilallah, Allahu Akbar. Kalimat tahmid memiliki banyak sekali keistimewaan, baik yang berada di dalam Al quran atau dalam hadis-hadis rosulullah.

KEISTIMEWAAN DI DALAM AL QURAN
Di dalam al-Qur’an al-Karim, banyak kita dapatkan isyarat yang menunjukkan keistimewaan kalimat tahmid. Antara lain: dimulainya al-Qur’an dengan tahmid. Sebagaimana di awal surat al-Fatihah. Selain itu juga banyak surat di al-Qur’an yang diawali dengan tahmid. Seperti dalam surat al-An’âm, al-Kahfi, Saba’ dan Fâthir.
Ditambah lagi dalam al-Qur’an, Allah ta’ala mengawali penciptaan makhluk-Nya dengan tahmid, sebagaimana dalam firman-Nya,
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَجَعَلَ الظُّلُمَاتِ وَالنُّورَ”.
Artinya: “Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi, serta menjadikan gelap dan terang”. QS. Al-An’âm (6): 1.
Juga mengakhiri penciptaan makhluk dengan tahmid (QS. Az-Zumar: 75).
Di dalam al-Qur’an, kalimat tahmid disebutkan lebih dari empat puluh kali. Di antara ayat-ayat tersebut ada yang berisikan berbagai motivasi pendorong kita untuk bertahmid.
Misalnya di surat al-A’râf. Di situ Allah menjelaskan bahwa di antara motivasi pendorong kita untuk bertahmid memuji-Nya adalah karena Dialah yang telah memberikan hidayah kepada tauhid.

 “هُوَ الْحَيُّ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ فَادْعُوهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ”.

Artinya: “Dialah yang Maha hidup, tidak ada yang berhak disembah selain Dia. Maka sembahlah Dia dengan tulus ikhlas beragama kepada-Nya. Segala puji bagi Allah Rabb seluruh alam”. QS. Al-Mu’min / Ghafir (40): 65.
Kita memuji Allah, juga karena Dialah yang mengaruniakan keturunan.

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَهَبَ لِي عَلَى الْكِبَرِ إِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِنَّ رَبِّي لَسَمِيعُ الدُّعَاءِ”.

Artinya: “Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tua(ku) Ismail dan Ishaq. Sungguh, Rabbku benar-benar Maha Mendengar (mengabulkan) doa”. QS. Ibrahim (14): 39.
Selain itu, kita memuji Allah karena nikmat terbesar, yakni perkenan-Nya memasukkan kita ke surga.

“وَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَا نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ . وَنَزَعْنَا مَا فِي صُدُورِهِمْ مِنْ غِلٍّ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهِمُ الْأَنْهَارُ وَقَالُوا الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ”.
Artinya: “Orang-orang yang beriman serta beramal salih, Kami tidak akan membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya. Mereka itulah penghuni surga; mereka kekal di dalamnya. Dan Kami mencabut rasa dendam dari dalam dada mereka. Di bawah mereka mengalir sungai-sungai. Mereka berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menunjukkan kami ke (surga) ini. Kami tidak akan mendapat petunjuk sekiranya Allah tidak menunjukkan pada kami”. QS. Al-A’râf (7): 43.

KEISTIMEWAAN DALAM HADIS-HADIS

1. Dengan kalimat ini kita akan dekat Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam di hari kiamat
Dalam sebuah hadits disebutkan,

“أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ القِيَامَةِ وَلاَ فَخْرَ، وَبِيَدِي لِوَاءُ الحَمْدِ وَلاَ فَخْرَ، وَمَا مِنْ نَبِيٍّ يَوْمَئِذٍ آدَمَ فَمَنْ سِوَاهُ إِلاَّ تَحْتَ لِوَائِي”.

“Aku adalah pemimpin anak Adam pada hari kiamat. Aku katakan ini bukan untuk menyombongkan diri. Di tanganku bendera pujian. Aku katakan ini bukan untuk menyombongkan diri. Pada hari itu seluruh nabi termasuk Adam akan berada di bawah benderaku”. HR. Tirmidzy dari Abu Sa’id radhiyallahu’anhu. Hadits ini dinilai sahih oleh Ibn Hibban dan al-Albany.
Hadits di atas menjelaskan pada kita bahwa di hari kiamat kelak, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam benar-benar akan membawa bendera. Dan yang berhak bergabung di bawah bendera tersebut adalah hamba-hamba Allah yang sering bertahmid dan banyak memuji-Nya; sebab bendera tersebut adalah bendera pujian. Nabi kita Muhammad shallallahu’alaihiwasallam lah yang berhak mengibarkan panji tersebut, karena beliau adalah hamba Allah yang paling banyak mengucapkan tahmid dan memuji-Nya.

2. Dengan kalimat ini kita bisa meraih rumah pujian di surga
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam menjelaskan,
“إِذَا مَاتَ وَلَدُ العَبْدِ قَالَ اللَّهُ لِمَلاَئِكَتِهِ: “قَبَضْتُمْ وَلَدَ عَبْدِي؟”، فَيَقُولُونَ: “نَعَمْ”، فَيَقُولُ: “قَبَضْتُمْ ثَمَرَةَ فُؤَادِهِ؟”، فَيَقُولُونَ: “نَعَمْ”، فَيَقُولُ: “مَاذَا قَالَ عَبْدِي؟” فَيَقُولُونَ: “حَمِدَكَ وَاسْتَرْجَعَ”، فَيَقُولُ اللَّهُ: “ابْنُوا لِعَبْدِي بَيْتًا فِي الجَنَّةِ، وَسَمُّوهُ بَيْتَ الحَمْدِ”.
“Jika salah satu anak manusia meninggal, maka Allah akan bertanya kepada malaikat-Nya, “Kalian telah mencabut nyawa anak hamba-Ku?”. “Ya” jawab mereka. “Kalian telah mencabut nyawa buah hatinya?”. Mereka menjawab lagi, “Ya”. “Apa yang diucapkan hamba-Ku?”. “Ia memuji-Mu dan mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi raji’un!”. Maka Allah pun berfirman, “Bangunkan untuk hamba-Ku rumah di surga dan namailah dengan rumah pujian!”. HR. Tirmidzy dari Abu Musa radhiyallahu’anhu. Hadits ini dinyatakan hasan oleh Tirmidzy dan al-Albany.
Saat tertimpa musibah pun kita perlu untuk memuji Allah, sebab Allah layak untuk dipuji dalam segala kondisi. Apalagi pilihan-Nya pasti selalu yang terbaik. Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits,
“إِنَّ اللهَ لَا يَقْضِي لِلْمُؤْمِنِ قَضَاءً إِلَّا كَانَ خَيْرًا لَهُ”
“Sesungguhnya Allah tidaklah menakdirkan sesuatu bagi seorang mukmin melainkan pasti itu baik baginya”. HR. Ahmad dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu dan dinilai sahih oleh Ibn Hibban dan ad-Dhiya’ al-Maqdisy.

3. Kalimat ini merupakan doa yang paling afdal
Dalam sebuah hadits disebutkan,
“أَفْضَلُ الذِّكْرِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ، وَأَفْضَلُ الدُّعَاءِ الحَمْدُ لِلَّهِ”.
“Dzikir yang paling afdhal adalah La ilaha Illallah. Dan doa yang paling afdhal adalah Alhamdulillah”. HR. Tirmidzy dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu’anhu dan dinilai sahih oleh Ibn Khuzaimah juga Ibn Hibban.
Di dalam hadits di atas, Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam mengatagorikan Alhamdulillah sebagai doa, bahkan doa yang paling istimewa. Mengapa demikian, padahal sebagaimana telah maklum bahwa doa itu berisikan pujian kepada Allah, bukan permintaan?
Para ulama menjelaskan bahwa doa itu ada dua macam. Pertama: doa yang berisi permintaan. Kedua: doa yang berisi pujian. Orang yang memuji Allah, sejatinya ia juga sedang berdoa meminta kepada-Nya. Hanya saja dengan bahasa yang halus.
Orang yang memuji Allah, berarti ia sedang mensyukuri nikmat Allah. Dan orang yang mensyukuri nikmat Allah, mereka berpeluang besar untuk mendapatkan tambahan nikmat dari-Nya.
Jadi, orang yang mengucapkan Alhamdulillah memuji Allah, sejatinya ia juga sedang berdoa kepada-Nya. Banyak ayat di dalam al-Qur’an yang mengisyaratkan hal tersebut.  Antara lain firman-Nya,
“وَآخِرُ دَعْوَاهُمْ أَنِ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ”.
Artinya: “Penutup doa mereka adalah: alhamdulillahi rabbil’alamin (segala puji bagi Allah Rabb semesta alam)”. QS. Yunus (10): 10.
Juga,
“هُوَ الْحَيُّ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ فَادْعُوهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ، الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ”.
Artinya: “Dialah yang Maha hidup, tidak ada yang berhak disembah selain Dia. Maka berdoalah kepada-Nya dengan tulus ikhlas beragama. Segala puji bagi Allah Rabb seluruh alam”. QS. Al-Mu’min / Ghafir (40): 65.
  1. 1.        Kalimat mulia ini akan memenuhi timbangan kebaikan
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam menjelaskan,
“الطُّهُورُ شَطْرُ الإِيمَانِ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ تَمْلأُ الْمِيزَانَ. وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ تَمْلآنِ -أَوْ تَمْلأُ- مَا بَيْنَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ، وَالصَّلاَةُ نُورٌ، وَالصَّدَقَةُ بُرْهَانٌ، وَالصَّبْرُ ضِيَاءٌ، وَالْقُرْآنُ حُجَّةٌ لَكَ أَوْ عَلَيْكَ…”
“Kesucian adalah setengah dari iman dan Alhamdulillah akan memenuhi timbangan. Sedangkan subhanallah dan Alhamdulillah akan memenuhi jarak antara langit dan bumi. Shalat adalah cahaya. Sedekah merupakan bukti (keimanan). Sabar adalah cahaya. Al-Qur’an bisa jadi akan membantumu kelak atau memberatkanmu…”. HR. Muslim dari Abu Malik al-Asy’ary radhiyallahu’anhu.

sumber : ponpes tunas ilmu-purbalingga 

Kamis, 15 Januari 2015

Ar Rohmaan dan Ar Rohiim


Dua sifat Allah ini sering kali disebutkan secara bersama2, tapi juga terkadang disebutkan secara terpisah.  Contoh nya dalam surat al fatihah ayat 1 dan 3 ; “BISMILLAHIROHMAANIRROHIIM” dan “ Ar rohmaanirrohim”
Secara Terpisah, Allah menyebutkan contohnya dalam surat Thoha ayat 5,  Allah menyebutkan sifat Ar Rohman, dan dalam surat al ahzab;43 Allah menyebutkan sifat Rahiim.

Apa arti Ar Rohman dan Ar rohiim?

Menurut Imam al ahzani wafat 143 H, ini adalah pendapat oleh imam ahli tafsir At Thobroni.
Ar Rohman adalah zat yang kasih sayangnya meliputi seluruh makhluknya. Baik yang islam ataupun non islam.
AR ROHIIM adalah zat yang kasih sayangnya dirasakan khusus oleh orang yaang beriman saja di dunia dan akhirat.

Sehingga orang beriman mendapatkan 2 kasih sayang yaitu dari Ar Rohman dan Ar rohiim, tapi jika orang non islam Cuma mendapatkan kasih sayang AR Rohman saja.
Apa kasih sayang Allah untuk orang kafir? Nikmat dunia, seperti diberi kehidupan, nikmat hujan, nikmat kesehatan. Orang kafir mendapatkan nikmat dunia itu. Di akhiratpun mereka mendapatkan kasih sayang Allah, yaitu sebagai bentuk Keadilan Allah. Pada hari akhir nanti, Allah akan mengadili semua orang dengan Adil tanpa kecuali.

Surat yasin ; 54

“Tak ada seorangpun yang didholimi walaupun sedikit, dan kamu tidak akan diganjar kecuali sesuai dengan amal perbuatan kalian”.

Contoh Nikmat AR Rohiim
Hidayah :
Ini adalah nikmat Allah yang luar biasa, tak smua orang di dunia ini mendapatkan hidayah. Banyak orang yg lebih kaya, lebih cerdas tapi tak memiliki hidayah dari Allah. Maka kita harus bahagia dan bersyukur karena Allah memberikan hidayah kepada kita. Adapun orang kafir itu tidak mendapatkan nikmat Ar Rohiim ini.
Bagaimana kasih sayang Allah di akhirat?

Hr bukhari muslim
Rosul bersabda ;”sesungguhnya Allah memiliki 100 rahmat, dari 100 rahmat itu Allah turunkan 1. Dan yang 1 ini cukup untuk mengisi dunia dan se isinya. Adapun 99 rahmat Allah, Allah simpan untuk hamba2nya yang beriman di hari kiamat.”

Lihat, bukankah luar biasa? Selama ini kita sudah merasakan nikmat di dunia, tapi ternyata itu belum apa2nya. Ada 99 kenikmatan yang Allah simpan untuk orang2 yang beriman di surga kelak. Padahal yang 1 kenikmatan saja, sudah menyilaukan banyak manusia, apalagi yang 99?
Sedangkan di akhirat, orang kafir hanya mendapatkan kenikmatan di dunia yaitu 1 kenikmatan dibagi seluruh umatnya sedang di akhirat mereka tidak mendapatkan secuilpun kenikmatan.

Rabu, 14 Januari 2015

AR Robb


Ini adalah nama yang paling populer dan sering kita sebut, terutama ketika kita ingin meminta pertolongan. Nama Allah ini di dalam al quran kt para ulama disebutka 500x dengan berbagai redaksi. Bahkan di al fatihah itu sudah muncul, yaitu AlhamdulillahiROBBIL ‘alaamin.

Ar Robbu itu artinya adalah zat yang memiliki 3 sifat sekaligus, yaitu Pencipta, Pemilik dan Pengatur.

Allahlah satu-satunya yang memiliki 3 sifat tersebut secara sempurna. Tak ada yang bisa memiliki 3 sifat itu secara sempurna selain Allah. Bisa saja dia Menciptakan, tapi dia tidak memiliki apa yang diciptakan. Misalnya : Tukang batu, dia membangun rumah setelah rumah itu jadi, tentu itu bukan milik dia, tapi milik orang yang memesan rumah itu.
Dan tak juga tiap Pemilik itu adalah pencipta. Misal Kendaraan yang kita pakai, baju yang kita pakai, apakah kita yang membuat baju dan kendaraan dan baju?
Tak semua Pengatur itu pemilik dari yang diatur, misal tukang parkir. Dia bisa mengatur mobil, tapi itu semua bukan milik dia.
Jadi hanya allahlah yang satu2nya Pencipta, Pemilik dan Pengatur apa yang di bumi, langit dan yang diantaranya. Makanya kita selalu mengucapkan AlhamdulillahiROBBIL ‘alaamin. ‘Alaamin adalah bumi, langit dan semua yang diantaranya. 

Pelajaran yg bisa dipetik :
1.       Kalau ingin menyembah itu sembahlah zat yang memiliki 3 sifat ini sekaligus yaitu Allah.
Jangan kita menyembah sesuatu yang diciptakan oleh orang lain seperti Keris.
2.       Mengikis sifat sombong manusia.
Banyak orang2 yang sukes, mengaku telah memiliki banyak kekayaan dan mengatur banyak perusahaan. Biasanya orang2 seperti ini akan merasa sombong dengan apa yang dia dapatkan. Padahal Allah itu mencipta dan mengatur seluruh Langit dan Bumi serta seisinya!!
Allahlah yang menciptakan orang2 hebat di muka bumi, seperti Albert Enstein, issac newton, dll.