Tafsir Al quran

Jumat, 08 Mei 2015

TAKBIR : KEISTIMEWAAN KALIMAT TAKBIR bag 1


Kalimat takbir merupakan kalimat yang teramat istimewa. Sangat banyak dalil dari al-Qur’an maupun sunnah Nabi shallallahu’alaihiwasallam yang memotivasi kita untuk mengucapkan kalimat ini. Di antaranya:
وَكَبِّرْهُ تَكْبِيرًا
Artinya: Agungkanlah Allah (bertakbirlah) seagung-agungnya”. QS. Al-Isra’ (17): 111.
Bahkan hampir setiap ibadah selalu diiringi takbir. Setelah selesai berpuasa Ramadhan misalnya, kita diperintahkan Allah untuk bertakbir.
وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Artinya: “Dengan begitu kalian dapat menyelesaikan hari-hari puasa kalian dengan sempurna. Dan hendaklah kalian mengagungkan Allah (bertakbir) atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kalian bersyukur”. QS. Al-Baqarah (2): 185.
Juga di dalam ibadah haji, serta di hari raya Idhul Ad-ha, kita disyariatkan untuk memperbanyak takbir. Allah ta’ala berfirman,
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ كَذَلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ
 Artinya: “Daging dan darah hewan kurban itu tidak sampai kepada Allah. Yang sampai kepada-Nya hanyalah niat ikhlas kalian. Begitulah Allah tundukkan hewan kurban itu kepada kalian agar kalian selalu mengagungkan Allah (bertakbir) atas petunjuk yang Dia berikan kepadamu. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik”. QS. Al-Hajj (22): 37.

Bukan hanya itu, di dalam ibadah amaliah yang paling mulia, yakni shalat, harus diawali dengan takbir, dan tidak boleh diganti dengan dzikir selainnya, walaupun semakna.
Aisyah radhiyallahu’anha menuturkan,
كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَسْتَفْتِحُ الصَّلاَةَ بِالتَّكْبِيْرِ وَالْقِرَاءَةَ بِالْحَمْدِ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Adalah Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam membuka shalat beliau dengan takbir dan mengawali bacaannya dengan Alhamdulillahi Rabbil Alamin”. HR. Muslim.

Bahkan hampir setiap gerakan dalam shalat ditandai dengan takbir. Tahukah Anda bahwa dalam sehari semalam, di shalat lima waktu saja kita telah bertakbir 94 kali? Itu belum ditambah takbir dalam shalat sunnah rawatib dan dzikir sesudah shalat fardhu. Seluruh takbir tersebut bila dikumpulkan ternyata berjumlah 320 kali! Padahal itu hanya dalam sehari semalam. Ini menunjukkan keagungan takbir.
Apabila seluruh takbir yang kita baca sehari semalam, di shalat lima waktu, juga dalam shalat sunnah rawatib dan dzikir sesudah shalat fardhu, kita hitung semuanya, ternyata berjumlah 320 kali! Itu belum termasuk dzikir yang tidak terikat waktu, yang diucapkan oleh seorang muslim dalam kesehariannya.
Hal ini menunjukkan betapa istimewanya kalimat takbir di dalam agama kita. Oleh karena itu tidak heran bila kalimat mulia ini kita ucapkan dalam sehari ratusan kali, bahkan tak terhitung.
Di antara dalil yang menunjukkan keistimewaan kalimat takbir, adalah hadits yang berisikan pensyariatan mengucapkan takbir di saat kita melewati jalan yang menanjak.
Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma bertutur,

كَانَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- وَجُيُوشُهُ إِذَا عَلَوُا الثَّنَايَا كَبَّرُوا وَإِذَا هَبَطُوا سَبَّحُوا فَوُضِعَتِ الصَّلاَةُ عَلَى ذَلِكَ.

“Adalah Nabi shallallahu’alaihiwasallam dan pasukannya apabila menanjak jalan; mereka mengucapkan takbir. Dan bila menurun; mereka bertasbih. Bacaan dalam gerakan shalat pun diatur seperti itu”. HR. Abu Dawud dan dinilai sahih oleh Syaikh al-Albany.
Para ulama menjelaskan hikmah di balik pengucapan kalimat takbir saat jalan menanjak dan kalimat tasbih saat jalan menurun. Kata mereka, kita bertakbir saat menanjak melewati jalan yang tinggi, sebab kondisi itu selaras dengan pengagungan Allah yang maha tinggi. Sebaliknya kita mengucapkan tasbih saat menuruni jalan yang rendah, karena hal itu selaras dengan pensucian Allah dari sifat-sifat yang rendah dan jelek.
Begitu pula dalam shalat kita. Dzikir yang kita ucapkan dalam gerakan-gerakan di dalamnya sesuai dengan hal di atas. Saat kita mengangkat tangan ketika takbiratul ihram, juga saat bangkit dari sujud kita mengucapkan takbir. Karena gerakan-gerakan tersebut mengarah kepada sesuatu yang tinggi. Sebaliknya ketika kita sedang ruku’ dan sujud; merendahkan anggota tubuh kita, kita mengucapkan tasbih. Sebab kalimat ini mengandung pensucian Allah dari sifat-sifat buruk yang rendah.
Jadi, kalimat takbir bukanlah kalimat yang hanya diucapkan dengan lisan belaka, namun kalimat yang amat sarat dengan makna. Takbir yang sejati adalah takbir yang diucapkan seorang hamba seraya ia mengagungkan Allah ta’ala dengan pengagungan lisan, hati dan perbuatan. Alias ia berusaha menjalankan perintah-perintah-Nya serta menjauhi larangan-larangan-Nya.

sumber : Ustadz Abdullah Zaen Lc. MA 

Sabtu, 02 Mei 2015

TAKBIR : MAKNA KALIMAT TAKBIR



Kalimat takbir terjemahannya adalah: Allah Maha besar. Adapun maknanya adalah kita harus meyakini bahwa Allah subhanahu wa ta’ala itu dzat yang paling besar, tidak ada satupun yang lebih besar dari-Nya. Segala sesuatu yang besar, di sisi Allah akan terasa kecil.

Keagungan dan kebesaran dzat Allah, juga keagungan sifat-sifat-Nya adalah sesuatu yang tidak mungkin diliputi oleh akal manusia. Jangankan keagungan Allah, kebesaran para makhluk-Nya saja, terkadang kita kesulitan untuk meliputinya.
Di antara makhluk terbesar adalah ‘Arsy. Di atasnyalah Allah berada. Di dalam sebuah hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerupakan ‘Arsy seperti kubah dan atap bagi alam ini yang terdiri dari langit dan bumi serta isinya. Di sini sangat jelas menunjukkan keagungan, kebesaran dan keluasan ‘Arsy. Bukan hanya lebih besar dari langit dan bumi, akan tetapi keluasannya tidak dapat dibayangkan oleh kita.  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan,
مَا السَمَوَاتُ السَبْعُ فِيْ الكُرْسِي إِلاَ كَحَلَقَةِ مُلْقَاةٌ بِأَرْضِ فَلاَة، وَفَضْلُ
الْعَرْشِ عَلَى الكُرْسِي كَفَضْل الفلاَةِ عَلَى الحَلَقَةِ
 “Tidaklah langit yang tujuh dibanding Kursiy kecuali hanya seperti cincin yang diletakkan di padang pasir. Dan besarnya ‘Arsy dibandingkan dengan Kursiy, seperti lebih besarnya suatu padang pasir dibanding sebuah cincin”. HR. Ibn Abi Syaibah dalam Kitab al-‘Arsy dan dinyatakan sahih oleh al-Albany.
Seharusnya seorang muslim mau merenungkan betapa besarnya langit dibanding bumi, betapa agungnya tahta Kursiy dibanding langit, dan betapa agungnya ‘Arsy dibanding tahta Kursiy. Akal tidak akan sanggup menjangkau keberadaan dan tata cara semua itu. Padahal mereka hanyalah makhluk. Lalu bagaimana dengan keagungan Allah yang menciptakan semua itu?!
Keagungan dan kebesaran Allah dan sifat-sifat-Nya jelas terlampau besar untuk bisa diliputi oleh akal pikiran manusia yang paling hebat sekalipun. Karena itu ada sebuah hadits yang melarang untuk membayangkan hakikat dzat Allah, sebab semua akal dan pikiran pasti tidak akan mampu menjangkaunya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda,
تَفَكَّرُوا فِي آلاءِ اللَّهِ، وَلا تَتَفَكَّرُوا فِي اللَّهِ
 “Bayangkanlah keagungan makhluk-makhluk Allah dan jangan membayangkan dzat Allah”. HR. Al-Lalaka’i dalam Syarah al-I’tiqad dan dinilai hasan oleh al-Albany.
Apabila hati seorang muslim dapat merasakan akan kebesaran makhluk seperti langit, bumi, ‘Arsy dan sebagainya, kemudian timbul dalam hatinya rasa ketidakmampuan memikirkan dan menjangkau semua itu; maka akan muncul pengetahuan ketiga yakni kebesaran dan keagungan Tuhan yang menciptakan makhluk-makhluk tersebut, yang tidak mungkin dapat diliputi serta dicerna oleh akal pikiran. Allah berfirman, “Katakanlah, ‘Segala puji bagi Allah Yang tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya dan tidak mempunyai penolong (untuk menjaga-Nya) dari kehinaan dan agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebesar-besarnya”. QS. Al-Isra (7): 111.

sumber : Ustadz Abdullah Zaen Lc. MA