Tafsir Al quran

Senin, 29 Desember 2014

POLEMIK MASALAH KIBLAT

 Ustads : Abdullah Zaen, Lc. MA
(Pengasuh Pondok Pesantren Tunas Ilmu)
PEMBUKAAN 
 Belakangan ini, polemik mengenai arah kiblat semakin menghangat. Bukan hanya di daerah tertentu, melainkan sudah menjadi isu nasional. Segala macam tulisan dan perdebatan telah dilakukan, namun tak jarang itu hanya berdasarkan emosional saja. Bukan berdasarkan kajian ilmunya. Untuk itulah kali ini kita akan coba untuk membahasnya secara ke ilmuan, apa sebenarnya yang terjadi tentang “Kiblat”? 

APA ITU KIBLAT? 
Disini ada 2 istilah yang saling berkaitan, yaitu “ Kiblat” dan “Ka’bah”. Kiblat berasal dari kata dalam bahasa arab yang artinya al-Qiblah yang bermakna keadaan seorang yang menghadap. Kemudian, kata ini digunakan untuk istilah arah yang dituju seorang muslim ketika ia shalat. Karah mana muslim menghadap ketika salat? Tentu ke arah ka’bah. Ka’bah maknanya secara bahasa adalah setiap rumah yang berbentuk kubus. Namun secara etimologi, kata ka’bah lebih dikenal untuk menamai bangunan kubus yang dibangun pondasinya oleh Nabi Ibrohim dan Nabi Isma’l \alaihissalam. Yang saat ini bangunan tersebut berada ditengah Masjidil Haram di tanah suci Mekkah. 

HUKUM MENGHADAP KIBLAT 
Menghadap kiblat ketika shalat merupakan syarat sah shalat seorang hama jika ia mampu, dan ini disepakati oleh para ulama. Imam Rusyd (w 595H) menjelaskan “ Kaum muslimin telah bersepakat bahwa menghadap ke arah Baitullah ketika shalat merupakan salah satu syarat sah shalat” Dalil mereka diantaranya :
 - Firman Allah ta’ala dalam Qs. Albaqarah (2) : 144 Artinya “ hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja engkau berada, hadapkanlah wajahmu ke arah itu”.
- Hadis nabi shollallahu’alaihiwasallam “Jika engkau hendak menunaikan shalat, maka sempurnakan wudhu, lalu menghadap ke kiblat dan bertakbirlah”. HR Bukhari (6251) dan Muslim (884) dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu.

SIAPA YANG TAK DIWAJIBKAN MENGHADAP KIBLAT? 
Telah dijelaskan bahwa menghadap kiblat itu wajib bagi yang mampu. Berdasarkan keterangan itu, maka berarti ada orang yang tak mampu menghadap kiblat. Siapa saja orang-orang yang mendapat keringanan untuk tidak diharuskan menghadap kiblat saat shalat? Mereka antara lain :
 • Orang yang tidak mampu untuk menghadap kiblat, karena sakit.
 Misalnya karena sakitnya terlalu parah, sehingga sekedar menggerakkan tubuhnya ke arah kiblat saja dia tak mampu. Dalam kondisi seperti ini maka shalatnya dianggap sah, kemanapun ia menghadap. Dalilnya firman Allah ta’ala Artinya :”Bertakwalah kepada Allah menurut kemampuan kalian “ . Qs. At-Taghabun(64): 16. 
Orang yang dalam keadaan Super takut, misal karena dikejar musuh, dan ia lari bukan ke arah kiblat. 
Jika ia mengalami kondisi seperti itu dan masuk waktu shalat, maka diperbolehkan baginya untuk shalat tidak menghadap kiblat, bahkan sambil berlari sekalipun. Ia shalat dengan menggunakan isyarat. Dalilnya firman Allah ta’ala Artinya : “ Jika kalian takut (ada bahaya), maka shalatlah sambil berjalan kaki atau berkendaraan”. QS. Al-Baqarah (2) : 239 
Orang yang sedang bepergian naik kendaraaan dan hendak menunaikan shalat sunnah. Ia diperbolehkan untuk menunaikan shalat diatas kendaraan, walaupun kendaraannya tidak menghadap kiblat. Dalilnya sebuah hadis sahih yang dituturkan oleh Ibn ‘Umar radhiyallahu’anhuma, “Rosulullah Shallallahu’alaihiwasallam biasa mengerjakan shalat sunnah diatas kendaraan, dengan menghadap ke arah manapun yang dituju kendaraan. Beliau juga melaksanakan shalat witir di atasnya. Namun beliau tidak pernah menunaikan shalat wajib di atas kendaraan.”. HR Bukhari (1097) dan Muslim (1616).

 CARA MENGHADAP KIBLAT 
Sebelum menjelaskan teknis menghadap kiblat, perlu diketahui bahwa keadaan orang yang sedang shalat bisa dibagi menjadi 2 :
• Keadaan pertama : Orang yang shalat berada di depan Ka’bah atau bisa melihat langsung Ka’bah. 
Dalam kondisi seperti ini, maka ia wajib menghadap langsung ke bangunan Ka’bah. Jika melenceng, maka shalatnya tidak sah. Dan para ulama tidak berbeda pendapat dalam hal ini. Imam Ibn Qudamah (w620H) menjelaskan “Jika seseorang langsung melihat Ka’bah, maka wajib baginya untuk shalat menghadap ke bangunan Ka’bah. Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dalam masalah ini. Ibnu ‘Aqil berkata “ Jika sebagian badanya melenceng dari arah Ka’bah maka shalatnya tidak sah”. 
• Keadaan Kedua : Orang yang tidak berada di depan Ka’bah dan tidak bisa melihat Ka’bah secara langsung. Misalnya orang yang tinggal jauh dari Kota Mekah, seperti kita yang berada di Indonesia. Dalam keadaan ini, para ulama saling bersilang pendapat, apakah ia tetap diwajibkan menghadap tepat ke arah bangunan Ka’bah atau cukup menghadap ke arahnya saja? 
Pendapat pertama : Orang itu tetap diwajibkan menghadap Ka’bah, tak boleh melenceng sedikitpun. Ini merupakah pendapat ulama yang dipilih oleh para ulama Syafi’iyah. Argumen mereka didasarkan dalil : 
Dalil Al Quran : Firman Allah Ta’ala, Artinya “Hadapkanlah Wajahmu ke syathro Masjidil Haram. Dan dimana saja engkau berada, hadapkanlah wajahmu ke arah itu.” QS Al Baqarah (2) : 144 
Kata “syathro” itu menurut mereka bukan sekedar kiblat saja, tapi harus tepat ke bangunan Ka’bah. 
Dalil hadis
Dari Sahabat ibn ‘Abbas radhiyallahu’anhuma, Nabi Shalallallahu’alaihiwasalam bersabda “Bahwa Nabi shallallahu’alaihiwasalam manakala memasuki Ka’bah, beliau brdoa di setiap sisinya. Beliau tidak menunaikan shalat melainkan setelah keluar darinya. Manakala keluar beliau Shalat dua raka’at di depan Ka’bah lalu berkata,”inilah Kiblat”. HR Bukhari (no 398) dan Muslim (no. 3224) 
Nabi shollallahu’alaihiwasalam menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Kiblat adalah bangunan Ka’bah itu sendiri. Jadi tidak cukupsekedar menghadap ke arahnya saja, tapi harus tepat menghadap bangunannya. Pendapat kedua : Orang yang jauh dari ka’bah. Dalam kondisi seperti ini maka cukup menghadap ke arah Kiblat saja, tidak harus tepat ke banguna Ka’bah. Jadi jika melenceng sedikit, maka hal tersebut tidak mengapa. Pendapat ini dipilih oleh mayoritas ulama dari kalangan Hanafiah, Malikiyyah dan Hanabillah. Juga merupakan salah satu pendapat Imam Syafi’i. Argumen mereka didasarkan : 
Dalil Al quran
 Artinya “Hadapkanlah wajahmu kearah Masjidil Haram. Dan dimana saja engkau berada, hadapkanlah ke arah itu”. Qs. Al Baqarah (2) : 144 
 Walaupun ayat ini juga dijadikan dalil oleh pendapat pertama, namun pendapat kedua ini memiliki penafsiran berbeda. Menurut mereka, kata “syathro” tersebut dalam ayat adalah artinya arah. Yakni maksudnya ketika shalat cukup bagi kalian untuk menghadap ke arah kiblat, tidak diharuskan tepat menghadap ke bangunan Ka’bah. Secara Bahasa, penafsiran ini didukung oleh para ulama pakar bahasa di dalam kamus-kamus bahasa Arab, juga di dalam kitab-kitab bahasa lainnya. Bahkan menurut sebagian mereka, tidak ada perbedaan pendapat diantara pakar bahasa mengenai makna ini. Para ulama pakar tafsir, mulai dari kalangan para sahabat nabi, generasi Tabi’in, hingga para ulama salaf sesudah merekapun menyampaikan hal serupa. Dalil hadis : 
Dari Abu hurairah radhiyallahu’anhu, Nabi shollallahu’alaihiwasalam bersabda “Arah antara Timur dan Barat adalah kiblat” Hr Tirmdidzy (no. 344) dan dinilai hasan sahin dan syeh al albany menyatakan hadis ini sahih. Secara Asal, hadis ini ditujukan untuk para penduduk Madinah dan sekitarnya yang tinggal di wilayah sebelah Utara Ka’bah atau yang tinggal di wilayah Selatan Ka’bah. Walaupun begitu hadis ini juga berlaku bagi siapa saja dan dimanapun berada, hanya penerapannya saja yang disesuaikan dengan arah daerah masing-masing.
Contohnya saja kita yang berada di Indonesia. Sebagaimana telah kita ketahui bahwa negara kita berada di sebelah Timur Ka’bah. Jadi kiblat kita adalah seluruh arah antara Utara dan Selatan. Tidak harus tepat mengarah ke Barat Laut. Jika ada yang melenceng ke arah Barat atau Barat Daya maka hal litu tidak menjadi masalah. Dan kata para Ulama, fleksibelitas dalam masalah tersebut juga dikenal dalam praktek dan perkataan para sahabat Nabi shollallahu’alaihiwasalam. Bahkan tidak diketahui adanya silang pendapat diantara mereka mengenai hal itu.  
Dalil Aqli (Logika) 
Selain berdalil dengan Al-Quran dan Hadits, pendapat kedua ini juga berargurmen dengan logika akal. Kata mereka, untuk menyatukan kaum muslimin diseluruh dunia menghadap kepada satu titik, yakni tepat di bangunan Ka’bah adalah merupakan sesuatu yang mustahil. Mengapa? Perlu diketahui bahwa bangunan Ka’bah itu hanya berukuran + 11m x 12m. Padahal banyak sekali bangunan masjid yang ukurannya bahkan jauh lebih besar dibanding ukuran ka’bah. Jika ada sebuah masjid misalnya berukuran 30m x 30m, dan takmir masjid tersebut mengukur arah kiblat dari mihrab imam, katakanlah tepat ke arah bangunan Ka’bah. Imam dan para makmum yang berada di sebelah kiri atau kanan imam sepanjang 12 meter, mungkin masih bisa menghadap tepat ke arah kiblat, karena masih dalam ukuran Ka’bah. Tapi bagaimana dengan para makmum yang posisinya berada di luar 12 meter? Apakah mereka akan bisa tepat ke arah Ka’bah? Sangat mustahil itu bisa terjadi dan kalau dipaksakan maka shof sholatnya akan jadi tidak teratur. Karena makmum yang berada di luar 12 m itu harus menyesuaikan kiblatnya agar tepat ke ka’bah. 
Karena itu para ulama berijma’ tentang sahnya shalat orang-orang yang berada di shaf panjang tersebut, walaupun jika ditarik garis lurus tidak akan tepat mengenai bangunan Ka’bah. Imam ibn Rajab (w 795H) menyatakan : “Umat telah bersepakat tentang sahnya shalat shaf panjang yang jauh dari Ka’bah. Padahal telah maklum bahwa tidak mungkin semua dari mereka menghadap tepat ke bangunan Ka’bah. Dengan kata lain jika ditarik garis lurus di depan mukanya maka akan sampai tepat ke Ka’bah. Ini tidak mungkin terjadi, melainkan pasti akan melenceng walaupun sedikit.” 

MANAKAH YANG LEBIH KUAT ? 
Melihat argumen yang dipaparkan oleh masing-masing pendapat, nampaknya terlihat bahwa pendapat kedualah yang lebih kuat. Dikarenakan begitu jelas dan kuatnya argumen mereka, baik dalil naqli maupun dalil aqlinya. Pendapat ini pula yang dipilih oleh Majelis Ulama Indonesia Pusat. 
 Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia memutuskan : “ Kiblat bagi orang yang shalat dan tidak dapat melihat Ka’bah adalah arah Ka’bah (jihat al-Ka’bah).” Terlebih jika kita melihat akibat yang akan ditimbulkan dari diwajibkannya menghadap tepat ke arah bangunan Ka’bah, yakni akan sangat mempersulit kaummuslimin dalam peribadatan mereka. Bayangkan saja, selain dalil logika yang sudah dijelaskan, hal lainnya adalah jika kita sholat dirumah. Apakah kita harus mengukurnya? Agar tepat menghadap ka’bah? Jika memang konsisten memegang pendapat pertama, maka seharusnya dirumahpun diukur kiblatnya agar tepat menghadap bangunan Ka’bah. Ini sungguh sangat menyulitkan dan tidak sejalan dengan karateristik syariat islam yang senantiasa mengedepankan prinsip kemudahan. 
Allah ta’ala berfiman : 
Artinya “Allah menghendaki kemudahan bagi kalian dan tidak menginginkan kesukaran untuk kalian”. QS. Al Baqarah (2) : 185 
Artinya “Allah tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama”. QS. Al hajj 922) : 78 
Nabi shallallahu’alaihiwasalam menegaskan, “Sesungguhnya agama ini mudah”. Hr Bukhari (no.39) dari abu Hurairah radhiyallahu’anhu. 
 Makanya generasi terbaik umat ini, yakni para sahabat rasul shallallahu’alaihiwasalam, manakala mereka menaklukan negeri-negeri dan membuka wilayah baru, saat menentukan Kiblat, mereka mencukupkan diri dengan arah Ka’bah saja. Tidak berusaha menyulitkan kaum muslimin dengan mewajibkan mereka menghadap tepat ke bangunan Ka’bah.( Fath Al Bary- ibn Rajab) Bagaimana dengan pendapat yang pertama ? Mengenai dalil mereka yang berupa ayat al quran (QS. Baqarah ; 144) , maka telah disampaikan diatas bahwa penafsiranyang lebih tepat adalah penafsiran pendapat kedua. Sebab itu didukung dengan tinjauan bahasa juga kajian tafsir. Adapun dalil mereka yang berupa hadis, maka bisa dijawab, bahwa yang dibidik oleh hadis tersebut adalah : mereka yang shalat di depan Ka’bah bukan setiap orang yang shalat dimanapun berada.
 Renungan 
Seyogyana bagi setiap muslim, terlebih lagi para tokoh agama atau panutan, sebelum melontarkan sesuatu atau menerapkannya di masyarakat, hendaklah menimbang maslahat dan mudharat yang akan ditimbulkan darinya. Juga mempertimbangkan skala prioritas dalam menyampaikan ilmu. Tidak serta merta begitu mengetahui sesuatu lantas langsung dilemparkan ke khalayak umum. 
 Tatkala imam Asy-Syathibi (w790H) menjelaskan patokan perkara apa yang boleh disebarkan dan perkara apa yang tidak boleh disebarkan, beliau berkata “ Patokannya “ (langkah Pertama) engkau menimbang perkara itu dengan syariat. Jika dibenarkan secara syariat, maka (Langkah Kedua) pertimbangkan akibat yang akan ditimbulkan darinya, tatkala disampaikan pada zaman dan masyarakat yang ada saat itu. Seandainya tidak menimbulkan mafsadata (kerusakan), maka (langkah ketiga) timbanglah perkara itu dengan pikiranmu, kira-kira akal masyarakat (telah mampu untuk memahami perkara itu), sehingga mereka mau menerimanya atau tidak? Bila engkau pertimbangkan bahwa akalmanusia telah mampu, maka (Langkah keempat) sampaikanlah kepada masyarakat umum, jika perkara itu bisa diterima secara umum. Atau sampaikan pada komunitas terbatas jika perkara itu tidak cocok untuk disampaikan secara umum. Andaikan perkara yang akan sampaikan tidak memenuhi syarat-syarat di atas, maka yang selaras dengan maslahat menurut syariat dan akal shat, adalah perkara tersebut tidak engkau sampaikan.” Kesimpulan akhirnya adalah, kita tidak perlu berdebat terlalu panjang untuk masalah ini, karena masing-masing pendapat itu ada dalilnya. Selayaknnyalah kita menghormati pendapat masing-masing. Dan seorang makmum itu harus mengikuti imamnya, tak perlu dia memiringkan diri saat mengikuti imam dengan pendapat kedua.

1 komentar:

  1. bagus sekali apalagi di Palembang banyak silang pendapat, bahkan masjid Agung pun harus dimiringkan sajadahnya supaya tepat ke ka'bah. Apakah artikel ini boleh diterbitkan di koran lokal Sumsel.

    BalasHapus